Kampungku Kelasku: Sebuah Model Pendidikan Alternatif Bagi Anak-anak

 

 

 

 

 

 

 

 

Mendapatkan pendidikan yang  layak bagi anak bukan saja idaman orang tua tetapi juga merupakan hak asasi anak dengan salah satu dasarnya adalah program pendidikan untuk semua (education for all) yang merupakan kesepakatan hampir semua negara di dunia.

Berkaitan dengan hal tersebut pendidikan sejak dini sudah merupakan kebutuhan penting anak. Sejumlah hasil penelitian neurologi dan kajian pendidikan anak usia dini cukup memberikan bukti betapa pentingnya stimulasi sejak usia dini dalam mengoptimalkan seluruh potensi anak guna mewujudkan generasi mendatang yang berkualitas dan memiliki daya saing  di tingkat global.

Tentu kesadaran akan perlunya belajar sejak usia dini ini tidak muncul dari si bayi yang ‘belum bisa apa-apa’, namun dimulai dari kesadaran orang tua dan lingkungannya untuk memberikan pembelajaran-pembelajaran kepada seorang anak sejak dini. Ilmu pengetahuan dan nilai yang ditanamkan pada anak sejak usia dini akan membekas pada dirinya dan sangat berpengaruh pada proses belajar di tahap remaja dan ketika ia dewasa kelak.

Secara formal, pemerintah dan sebagian masyarakat telah mengupayakan peningkatan akses pelayanan pendidikan. Gedung-gedung sekolah dibangun, jumlah guru terus ditingkatkan, fasilitas pendidikan didistribusikan, dan sebagainya.

Meskipun demikian pendidikan masih menjadi salah satu problem paling pelik di negara kita. Anak-anak kita diperkenalkan dengan kehidupan global dengan segala kehebatan dan konsekuensinya. Tentu saja hal ini menggembirakan. Namun dalam kemajuan luar biasa ini kami (secara pribadi) agak mencemaskan sesuatu.

Kecenderungan untuk mengikuti irama pemikiran global dan terpaan budaya massa (sebagai efek media massa) meninggalkan ceceran masalah seputar ‘mengenal identitas diri, akar lingkungan tempat asal dan tempat kita selalu pulang”. Anak-anak mengenal tentang kehidupan global, nasional serta gaya hidup yang dipandang menjadi milik umum/massa.

Dalam kondisi ini kadang-kadang anak-anak kita di Manggarai tidak mengenal lingkungannya sendiri dari mana dia berada, apa prinsip hidupnya, filosofi lingkungan dan penerapannya, tentang tanaman kopi dan kemiri yang menghidupi hampir sebagian besar masyarakat Manggarai, tentang tetangga nya, tentang sistem kemasyarakatannya. Kondisi ini suatu saat meninmbulkan rasa bahwa ‘tidak memiliki rumah untuk pulang’.

Selain alasan mendasar tersebut yang saya pungut dari pergaulan hidup saya bersama anak-anak di Manggarai, berikut beberapa alasan lain yang berbunyi sedikit formal: Akses pendidikan dan fasilitas belajar bagi anak-anak; pemerintah dan sebagian masyarakat telah berupaya  meningkatkan akses pelayanan pendidikan anak, namun data membuktikan bahwa masih sangat banyak anak yang belum menikmati pendidikan yang layak.

Laporan Unicef tahun 2012  menyebutkan bahwa kurang dari 10 juta   (dari 30 juta) anak usia 0-6 tahun di Indonesia yang memiliki akses terhadap program PAUD, dengan mayoritas anak yang tidak terlayani tinggal di daerah pedesaan dan berasal dari keluarga miskin.  Selain itu sumber data yang sama menyebutkan bahwa meskipun keseluruhan angka jumlah anak yang masuk SD cukup tinggi, namun diperkirakan bahwa tahun 2011 2,5 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia tidak sekolah, umumnya putus sekolah pada masa transisi SD ke SMP.

Penyebabnya karena masih kurangnya sarana dan prasarana pendidikan khusus untuk usia dini. Selain itu mahalnya biaya pendidikan, semakin menyulitkan anak-anak untuk mendapatkan kesempatan belajar, terutama untuk anak usia dini. Masyarakat secara umum tidak mampu menjangkaunya. Pada tingkat  anak usia Sekolah Dasar (SD), masalah akses pendidikan formal pun tidak kurang peliknya.

Dibandingkan dengan pendidikan lanjutan pertama dan lanjutan atas, jumlah gedung SD bisa lebih banyak, namun rasio antara jumlah anak usia sekolah dasar dengan ketersediaan fasilitas (gedung sekolah, ruang kelas, alatbantu belajar) serta tenaga pengajar masih belum seimbang. Sebuah SD di suatu kampung di Kabupaten Manggarai harus menampung sejumlah anak dari beberapa kampung / komunitas tempat tinggal yang terpencar-pencar.

Fasilitas dan tenaga pengajar yang terbatas dengan jumlah anak didik yang banyak (satu kelas bisa mencapai 40 bahkan 60 anak-wow!) menyulitkan terwujudnya proses  belajar yang menyenangkan , memuaskan dan berkualitas. Keadaan ini diperparah dengan keharusan seorang guru mengejar target kurikulum, anak dan orang tua mengejar nilai rapor dan reputasi sekolah. Tidak heran banyak guru yang ’lari’ dari sekolah dan banyak anak didik yang bertahan di sekolah hanya agar dapat mengikuti ’komuni pertama’. Selebihnya sekolah adalah rantai yang menakutkan bagi sebgian anak.

Berikut adalah pola pendidikan formal yang belum memuaskan. Beberapa kalangan  meragukan pola pembelajaran di sekolah-sekolah formal. Setelah sekian lama, pola pengelolaan pendidikan yang diperkenalkan  pemerintah dan pelaku pendidikan swasta dirasakan semakin tidak memerdekakan. Sekolah misalnya sangat terbatas memberi ruang yang cukup untuk berkembangnya potensi individu. Pakaian, kurikulum, dan sistem evaluasi semua diseragamkan.

Banyaknya jumlah mata pelajaran bahkan ada yang terkesan tumpang tindih membuat anak hanya mempelajari sesuatu di permukaan, menghafal dan tidak mengerti. Kreativitas dan potensi peserta didik menjadi kerdil dan mandul karena “pakem” dan seragam. Anak-anak dalam banyak hal menjadi kurang kreatif karena tidak memperoleh apresiasi yang memadai dari guru. Mereka diposisikan sebagai obyek yang dibentuk menurut selera dan kemauan guru.

Sekolah telah membuat generasi bangsa ini menjadi bukan dirinya dan terasing dari realitas kehidupannya. Ironisnya meski telah melahirkan kondisi seperti itu perhatian utama  selalu saja diberikan oleh pemerintah dan masyarakat terhadap jalur pendidikan formal itu. Bisa jadi karena sekolah formal masih merupakan indikator utama pencapaian pendidikan dan oleh masyarakat masih dinilai sebagai jalur pendidikan yang lebih baik, utama, dan diakui.

Sistem pendidikan formal yang mengejar nilai rapor, melupakan hal-hal lain seperti keterampilan hidup dan bersosialisasi yang jarang  diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan yang didapat, bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak (atau orangtua) mencontek dan membeli ijazah palsu. Pengembangan kecerdasan ganda (multiple intelegence)  masih  belum banyak diberi perhatian. Pengenalan anak yang luar biasa terhadap dunia global sering tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang lingkungan asal dia berada sehingga dalam satu titik tertentu si manusia akan merasa ‘tidak memiliki rumah untuk pulang’

Pendidikan Alternatif
Beberapa  kelemahan pendidikan di sekolah formal tidaklah menjadi alasan untuk menentang keberadaannya. Kita tetap membutuhkan sekolah formal, namun perlu diakui bahwa sekolah formal bukanlah satu-satunya tempat untuk menjalankan program pendidikan yang memerdekakan. Kekurangan / kelemahan pada sekolah formal tentu saja harus diperbaharui, namun sejalan dengan itu harus dilakukan upaya lain  untuk memenuhi hak pendidikan anak terutama untuk memenuhi kebutuhan informasi tentang lingkungan terdekatnya, tentang identitas budaya yang merupakan akar hidupnya. Salah satunya adalah melalui pola pendidikan alternatif yang saya baptis dengan nama  ”COMMUNITY SCHOOLING: KAMPUNGKU KELASKU” .

Rumah dan kelompok ketetanggaan merupakan lingkungan terdekat bagi anak dan tempat belajar yang paling baik buat anak. Di rumah anak bisa belajar selaras dengan keinginannya sendiri. Ia tak perlu duduk menunggu sampai bel berbunyi, tidak perlu harus bersaing dengan anak-anak lain, tidak perlu harus ketakutan menjawab salah di depan kelas, dan bisa langsung mendapatkan penghargaan atau pembetulan kalau membuat kesalahan. Di sini peran orang tua memegang posisi penting.

Pada hubungan yang lebih luas yakni kelompok ketetanggaan yang kemudian menjadi kampung hubungan antar anak  memberi peluang untuk belajar bersama secara menyenangkan. Anak-anak dapat belajar bekerja sama, mengenal kebutuhan di lingkungannya, belajar saling menghargai perbedaan dan sebagainya. Di lingkungan rumah dan ketetanggaan ini anak mendapatkan pelajaran tentang asal-usul nya sendiri, lingkungan  yang menghidupkannya, budaya, prinsip-prinsip hidup, tradisi dan sebagainya yang akan memberi ciri bagi dirinya bahwa ia adalah ‘orang Manggarai’.

Lingkungan ini akan memberi peluang anak untuk belajar mempersipkan diri bagi kehidupan di komunitas yang lebih luas. Secara umum program “Community Schooling-Kampungku Kelasku” diarahkan  dalam rangka  terjaminnnya proses pendidikan (transfer pengetahuan dan nilai) yang layak bagi anak usia dini di   Kabupaten Manggarai terutama berkaitan dengan identitas hidupnya selaku orang Manggarai.

Pendamping dan sumber belajar untuk kegiatan “Community Schooling-Kampungku Kelasku” bisa orang tua, tokoh masyarakat, volunter pendidikan, mahasiswa,  petani, ibu-ibu, tua golo/tua gendang, dan pihak-pihak lain yang ada di sekitar tempat belajar. Pendampung dan sumber belajar harus memiliki  komitmen untuk meningkatkan pendidikan anak-anak dan pelestarian budaya Manggarai, bersedia mengikuti training dan bersedia terus belajar (khusus volunter mahasiswa/pendamping dari luar kampung), disiplin dna mencintai anak.

Program  “Community Schooling-Kampungku Kelasku” tentu harus dirancang dengan baik fundasi dan arahnya. Mula-mula penganggas hendak menyusun draft kasar disain kurikulum, serta memikirkan training untuk volunteer, koordinasi dengan kampung tempat kegiatan akan diadakan, penyusunan jadwal kegiatan, dan pelaksanaan pendampingan (contoh).

Program “Community Schooling-Kampungku Kelasku” dapat diselenggarakan dengan meminta fasilitas kampung seperti rumah gendang, halaman kampung, kebun atau sentra keramaian di kampung. Waktu disesuaikan dengan kegiatan umum  anak-anak dan sumber belajar.  Target group disesuaikan dengan usia anak-anak di kampung, mulai dari  anak-anak usia 3 tahun sampai dengan 15 tahun yang tinggal dalam satu komunitas / kampung. Tiap kampung/komunitas tempat tinggal kelompok belajar berjumlah minimal 5 orang dan maksimal 20 orang.

Pendekatan pembelajaran dalam COMMUNITY SCHOOLING:KAMPUNGKU KELASKU haruslah berorientasi pada prinsip-prinsip perkembangan anak, kebutuhan anak, menggunakan pendekatan tematik, kreatif dan inovatif, lingkungan kondusif dan mengembangkan kemampuan hidup. Proses belajar harus menekankan romantisme  belajar yakni kegembiraan, perasaan senang, kepuasan dan bermanfaat. Untuk satu pertemuan ditetapkan satu tema khusu misalnya  Hari dongeng, hari masak, hari tentang hutan dan mata air , hari mengenal tetangga,  hari bahasa Inggris, hari menanam, dan sebagainya.*

sumber: floresbangkit.com